"Selamat datang di Padepokan Kidung Rindhu"

CERPEN


Sepulang dari kantor ku tertunduk dalam sujud. Tangis meluap tak tertahankan oleh dosa yang menyelubung membuat dada sesak. Aku tidak berdaya oleh beban kian merajam tiap jengkal langkah ini. Hingga ku terlelap dalam lamunan panjang. "Aku harus bisa sabar dan iklas menerima kenyataan ini." janjiku pada diri sendiri.

Tiba-tiba ingatku pada kata-kata ia, "Bok dibelikan korden jendelanya biar  tidak kelihatan." Dengan cepat kuterbangun dalam lamunan panjang lalu beranjak kamar belakang untuk ganti baju.

Aku tatap luar rumah tidak tampak hujan, lalu kualihkan pandanganku pada langit yang tanpa bintang. Kilatan halus tetap mengiringi waktu yang berjalan kian malam. Lalu kukeluarkan tar kecil dan kumasukkan HP dan dompet kesayangan dalam tas. tidak lupa helm dan kontak motor.

Dengan semangat aku menuju depan matahari atau alun-alun sidoarjo yang pernah kulihat ada penjual korden bagus. Dan tiba-tiba ada keingin mampir di kos lama untuk memberikan kunci kamar lama. Di kos lama yang sepuluh menit lalu aku kembali menuju niat awal keluar dari rumah.

Cuaca tidak mendukung aku pergi malam-malam di alun-alun seorang diri. Baru sampai masjid besar dijalan raya yang dekat belokan menuju kontrakan rumah langit menangis. Segera aku menuju toko jas hujan samping masjid besar, saat markir motor vario tecnoku pandanganku pada dua laki-laki yang menatapku terus.

Aku buang pikiran buruk tentangnya, lalu segera aku milih jas hujan yang cocok lalu membayarnya. Selesai bayar aku menuju sepeda motorku depan toko tapi di pinggir jalan raya. Aku lihat laki-laki itu seakan mengincarku, sebab dia tetap di belakangku dan depanku juga ada sepeda motor yang sejak awal betatap dengannya.

Hujan semakin deras, tiba-tiba seorang laki-laki menyuruhku minggir dulu, langsung aku minta tolong pada laki-laki penjual jas hujan membantu bawa sepeda motorku minggir. Dan bersamaan itu laki-laki tadi yang mengincarku ikut minggir di salon samping kanan toko jas hujan, sedangkan laki-laki yang naik sepeda motornya menuju depan warung padang samping salon.

Belum sempat aku duduk kursi pemberian laki-laki yang menyuruhku minggir, terdengar ia teriak, "Haiii... maling....maling...! ia sambil lari menuju warung padangnya.

Ternyata dua motor yang tadi yang mengikuti aku ternyata maling, motor satunya yang di kendarai satu orang memecahkan kaca jendela mobil yang terpakir di depan warung padang. Dan motor satunya yang di kendarai dua orang yang mengambil tas di dalam mobil. Seketika yang punya mobil lari menuju mobilnya.

Tiba-tiba kakiku lemas seakan tidak bertulang, dadaku berdebar-debar, rasa takut menjalar. Aku jatuhkan tubuhku yang lemas di kursi. Laki-laki penjual warung padang menyuruhku jangan tergesa-gesa pulang duku, ia kwatir kalau masih mengincarku dan bahkan menyuruhku pulang saja jangan jadi keluar sesuai tujuan awal.

"Terima kasih ya Robb... kau selamatkan diriku." doaku dalam hati

Setelah kupikir-pikir memang benar kata pemuda penjual warung padang itu. Akhirnya aku putuskan pulang tetapi sebelum itu aku makan di warungnya dulu menghilangkan rasa takut dan lemas.

Di warung padang aku pesan nasi campur dan teh manis hangat. Aku menikmati makanan itu sambil menatap langit kian menangis seakan mengiringi tangis hatiku. Aku jadi teringat beban dilema di dada yang kian sesak. Ingin lari dari semua, tetapi kenyataan di depan mata. 

"Kenapa kau tidak mau ngertiin aku, tidak mau memberi kesempatan aku, kenapa tidak mau memahami diriku, kau suka ngambek terus." kata-kata ia.

Dadaku terasa sesak, hatiku seakan dirajam. aku diam dalam tangis getir. Selama ini begitu banyak aku mengerti tentangnya. Aku selalu hadir saat ia butuh, aku selalu menghibur saat ia sedih, dan aku berusaha menyelesaikan masalah sendiri saat musibah itu datang. Dan kini ia menuduhku seakan aku tidak bisa mengerti tentangnya.

Kini aku hanya bisa diam, sabar, dan iklas atas semua. Mungkin sudah rencana ia untuk menyakitiku, melukaiku atau bahkan ingin membunuhku pelan. Rasa sayangku padanya seakan tidak ada artinya buatnya, lalu untuk apa aku harus setia kalau kenyataannya kasih sayangnya itu palsu.

"Mbak... kenapa menangis?" tanya penjual nasi padang membuatku kaget dan terbangun dalam lamunan.

Segera aku usap air bening yang mengalir di pipiku, "Bibi maafku bunda dan ayah yang tidak menginginkanmu." doaku dalam hati. "Ya Robb.... aku rindu kembali di dekapanmu."

Aku bayar makan tadi lalu menuju sepeda motor yang aku parkir di depan toko jas hujan, lalu menuju kontrakan. "Ya Robb... bila ia imam terbaik untukku beri petunjuk menuju jalan ibadahmu dan kau tidak akan memisahkan kami hingga akhir hayat. Tetapi bila ia bukan terbaik untukku beri hati iklas akan kenyataan yang ada.

Aku kembali pulang dengan iklas....



==================================================================================


Man Jadda Wajadda. Rupanya kalimat itu tidak hanya jadi semboyan orang ternama seperti A. Fuadi, novelis yang baru-baru ini mengeluarkan novel Ranah 3 Warna dan (setelah sebelumnya berhasil melambungkan) karya Negeri 5 Menara. Man jadda wajadda juga rupanya telah jadi pedoman hidup Ali (sebut saja begitu) orang biasa yang menjadi luar biasa --dalam pandangan warga sekitar-- berkenaan dengan pengalaman hidup yang dijalaninya.

Menikah saat usia masih muda di jaman sekarang ini mungkin bisa jadi bahan tertawaan. Apalagi yang hendak menikah itu misalnya katakan saja tak punya pekerjaan tetap, berasal dari keluarga kurang mampu, dan kekurangan-kekurangan lainnya, orang pasti bakal mencemoohnya. Tapi bukan berarti usia muda dan atau orang miskin dilarang menikah kan?

Di daerahku yang masih terisolir, masih banyak para orangtua menikahkan anaknya yang masih muda. Banyak gadis lulus SD langsung menikah. Apakah itu salah? Apakah untuk menikah harus punya pekerjaan tetap dulu? Harus menjadi kaya dulu? Atau harus memenuhi syarat-syarat lainnya? Hingga sulit dan sesusah itu?

Membicarakan soal menikah muda di daerahku secara tidak langsung akan berujung kepada sosok Ali yang kini menjadi sanjungan. Tak jarang para orangtua di kampungku menjadikan Ali sebagai acuan dalam menilai baik buruk kelakuan anak-anaknya. Ali bagai perumpamaan nyata yang sebaiknya ditiru oleh generasi muda di kampungku saat ini. Khususnya generasi yang lebih mengedepankan nafsu dan sahwat.

Pergaulan anak muda di kampungku sekarang terkesan lebih berani dan melangkahi kata tabu atau pamali. Paling tidak seperti itulah yang dikatakan Pak RT dan ustadz guru mengaji. Adab pergaulan masuk dari kota tanpa disaring lebih dahulu. Remaja kampungku langsung menelannya mentah-mentah. Hasilnya? Beberapa remaja terjerumus dalam sex pranikah. Tentu saja untuk lingkungan kampungku yang terkenal akan kental kehidupan beragamanya hal tersebut menjadi sebuah aib yang telah mencoreng nama baik kampung.

Pada saat seperti itulah, Ali selalu dikait-kaitkan. Ali menjadi perbandingan. Padahal, sebelum itu Ali adalah orang yang menjadi bahan cemoohan. Ali lebih dulu mengalami pahit dan getir dalam memperjuangkan niatnya untuk menyempurnakan separuh agamanya, menikah meski dalam usia muda.

Tapi siapa menyangka jika semua cobaan hidup yang dialaminya, penolakan lamaran orangtua si gadis yang didambakannya ternyata justru mampu mengantarkan Ali pada kematangan hidup yang ujungnya berbuah manis. Buktinya kini Ali jadi orang yang disegani dan jadi percontohan di kampungku. Kegagalan melamar telah memecutnya menjadikan Ali semakin berpikir dewasa dan bertindak, meski saat itu dia belum genap berumur 17 tahun.

Usia Ali lebih muda 3 tahun dariku. Saat itu dia kelas 3 SMP, dan aku tengah mengenyam pendidikan di kelas 2 SMA di wilayah kecamatan yang sama. Walau beda sekolah, aku dan Ali cukup akrab. Setiap selesai magrib sampai menjelang isya, Ali, aku dan remaja kampung lainnya sering mengaji bersama di madrasah atau aula mesjid. Rumahku dengan rumah Ali pun hanya berjarak sekitar dua ratus meter, sama-sama berada di belakang pasar kecamatan.

Tidak ada yang istimewa dari Ali dan keluarganya. Orangtua Ali mencari nafkah dengan berjualan mie ayam di depan salah satu kios kering bagian depan pasar. Setiap aku berangkat dan pulang sekolah, jika melewati kiosnya itu selalu terlihat Ayah Ali tengah bekerja keras menggeluti usahanya. Lebih-lebih setelah beberapa waktu terakhir Ibu Ali mulai sakit-sakitan. Otomatis pekerjaan yang biasa dilakukan Ibu Ali sebagian melimpah kepada suami dan anak-anaknya.Ali dan Siti, adik Ali yang masih duduk di bangku kelas 6 SD selalu terlihat bergantian membantu. Selain merawat ibunya, mengerjakan pekerjaan rumah, juga membantu ayahnya berjualan mie ayam.

Bisa dibilang kelangsungan hidup keluarga Ali bergantung sepenuhnya pada usaha penjualan mie ayam itu. Mungkin itulah sebabnya keluarga Ali selalu menomor-satukan daya upaya demi kelancaran usaha dagangnya. Keramahan dalam melayani pembeli, kebersihan makanan dan gerobak tempat dagang, sampai cita rasa mie ayamnya itu sendiri benar-benar diperhatikan. Pembeli pun merasa senang dan banyak yang menjadi pelanggan tetap.

Tak ada yang bisa menduga jika takdir sudah berkehendak. Pada awalnya semua orang mengkhawatirkan kondisi Ibu Ali yang sakit-sakitan, tapi siapa sangka ternyata Ayah Ali yang lebih dulu berpulang ke pangkuan Nya. Tanpa ada tanda-tanda sakit atau firasat apapun Ayah Ali meninggal dunia saat beristirahat disela-sela mengolah adonan untuk dibuat mie ayam di rumahnya. Itulah kehendak Tuhan, benar-benar diluar dugaan manusia.

Ibarat anak ayam kehilangan induknya, begitulah keadaan Ali dan Siti setelah ditinggal ayahnya. Mereka kehilangan tongkat untuk berjalan dalam kepincangan. Ibu Ali pun kondisinya drastis semakin parah. Sebagai anggota keluarga tentu saja beban Ali dan Siti semakin besar walau sesungguhnya mereka masih tergolong anak-anak. Ya, Ali dan Siti tidak ada pilihan lain kecuali mereka mau tidak mau tetap harus berjuang demi mempertahankan kelangsungan hidup.

Ali pernah bercerita kepada rombongan ibu-ibu pengajian yang melayat ke rumahnya --dan ibuku termasuk diantaranya-- saudara terdekatnya hanya tinggal seorang paman dari pihak ibunya yang tinggal di luar kota. Itu pun tak mudah untuk saling mengunjungi karena kehidupan pamannya juga sama-sama tak punya. Sementara Ayah Ali adalah anak tunggal. Kakek dan nenek Ali dari pihak ayah dan ibunya sudah lama tiada.

Demi kelangsungan hidup Ali, adik dan ibunya, gerobak mie ayam itu pun tetap buka. Ali dan Siti yang menjalankannya disela-sela waktu sekolah dan merawat ibunya. Sejak ayahnya masih ada, Ali dan Siti sudah terbiasa membantu berjualan. Di rumah pun mereka terlatih membuat dan mempersiapkan segala bahan-bahan. Maka saat Ayah Ali tidak ada dalam menjalankan dagangan mie ayamnya mereka sedikit banyak telah terlatih dan terbiasa.

Karena alasan biaya dan kurangnya waktu untuk berdagang, Ali memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Ijazah SMP pun mati-matian ia peroleh. Bukan karena Ali kurang cerdas, melainkan sebab banyak tidak masuk sekolah karena harus menjalankan usaha dagang dan merawat ibunya. Saat adiknya bersekolah tidak ada yang menjaga ibunya begitu pula mempersiapkan dagangan. Maka Ali yang mengalah ia rela harus absen dari kelas, mengorbankan waktu belajar dan cita-citanya.

Satu bulan lebih setelah Ali lulus, akhirnya ia mulai bisa sepenuhnya menjalankan usaha berdagang mie ayam. Pikirannya telah fokus, tidak terbagi-bagi lagi. Siti pun bisa belajar dengan tenang. Setelah menyeleseikan tugas sekolah, Siti yang merawat ibu sepenuhnya. Sementara Siti sekolah, Ali yang merawat ibu sambil mempersiapkan bahan dagangan.

Entah dapat pemikiran dari mana, tiba-tiba suatu hari Ali mengutarakan niat kepada ibunya jika ia ingin menikah.

"Mungkin jika aku sudah beristri, ada yang membantu kita berdagang dan merawat Ibu," begitu kata Ali. "Tapi tentu saja aku akan mencari calon istri yang mau menerima keadaan kita yang serba kekurangan, Bu.”

"Jika kamu mampu, ibu hanya bisa merestui," demikian jawab ibunya yang terbaring lemah seraya berlinang air mata.

Seperti mendapat persediaan tenaga baru, setelah mendapat restu dari ibunya sejak itu Ali tampak lebih bersemangat. Demi mencapai keinginannya untuk bisa berumah tangga Ali menjadi semakin giat berdagang dan beribadah. Mengumpulkan bekal apa adanya untuk melangsungkan pernikahan yang telah kuat diniatinya.

"Mungkin secara fisik Ali tampak masih anak-anak. Tapi pemikiran dan pandangannya insya Allah telah matang dan cukup dewasa. Niat Ali baik, selain ia ingin menentramkan hatinya, menjaga diri dari perbuatan yang tidak dibenarkan agama, ia juga ingin ada tempat berbagi dan membantu merawat ibunya." Demikian kata ibuku menirukan apa yang diucapkan Pak RT saat bermusyawarah di aula mesjid.

Ali yang tidak mempunyai sudara yang bisa dikuatkan saat itu meminta pertolongan Pak RT dan ustadz setempat dalam mengupayakan niatnya membangun bahtera rumah tangga.

Aku, dan teman-teman lain di kampung yang jelas berusia lebih tua darinya sempat kaget saat mendengar kabar Ali mau menikah. Tapi kalau niat Ali sudah kuat ya mau bagaimana lagi, hanya bisa mendoakan, semoga niat Ali tercapai.
Bukankah menikah itu suatu ibadah? Bentuk perbuatan yang mulia dari orang yang bisa menjaga tingkah dan laku?

Ali keukeuh tetap teguh ingin segera menikah, walau ada juga sebagian teman-teman dan warga kampung lainnya yang meragukan, mencibir dan mengolok-olok niat Ali itu.

Sampai suatu malam semua orang yang mendengar terpana seakan tak percaya ketika penduduk kampung dihebohkan dengan adanya kabar penolakan lamaran Ali oleh keluarga Pak Sarwi.

Usut punya usut, ternyata saat masih sekolah Ali sudah naksir Neng Meti, putri Pak Sarwi pedagang toko kelontong di pasar yang tak jauh letaknya dari kios mie ayam milik Ali. Demikian juga Neng Meti yang setelah lulus SD tidak melanjutkan ke SLTP --melainkan mondok (belajar ilmu agama di pesantren)-- itu menaruh hati pada Ali. Sayangnya, disaat Ali memberanikan diri meminta kepada orangtua Neng Meti malam itu untuk menjadikannya sebagai istri, ditentang bulat-bulat oleh Pak Sarwi.

"Kamu itu siapa? Anak ingusan. Anak kemarin sore berani-beraninya mengajak menikah. Punya modal dari mana berani-beraninya melamar anak saya? Saya tidak akan membiarkan anak saya menderita." Demikian tegasnya penolakan Pak Sarwi terhadap Ali.

“Saya memang orang tak punya, Pak. Tapi insya Allah saya akan berusaha. Silahkan Bapak tanya langsung Neng Meti, apakah dia besedia?” Ali keukeuh akan niatnya. Ia berusaha bersabar atas penghinaan yang diucapkan ayah dari gadis yang diimpikannya itu.

“Saya bilang saya tidak akan menerima lamaranmu. Ngerti?”

“Bapak, Ali kan ada usaha juga walau kecil-kecilan, Pak…” sambil terisak Neng Meti berusaha membela Ali.

Tapi Pak Sarwi malah balas menghardik anak gadisnya itu.

Pak RT, ustadz kampung, Siti dan Rusli teman Ali yang mengantar Ali malam itu hanya menunduk tak bisa berkata. Melihat gelagat tidak baik dari tuan rumah Pak RT langsung pamit dan mengajak Ali meninggalkan tempat secepatnya.

"Pokoknya masih banyak ucapan penolakan dan penghinaan dari Pak Sarwi yang lebih menyakitkan," kata Rusli keesokan harinya kepada kami di beranda mesjid. "Tapi biarlah jangan diperpanjang lagi. Kita diam saja. Ali sudah lebih dari sakit hatinya," ujar Rusli.

Tak disangka, selesai Rusli bicara magrib itu Ali datang ke mesjid untuk solat berjamaah seperti biasa. Tak terlihat sedikitpun tanda-tanda kecewa pada raut wajahnya.

"Gak apa-apa, mungkin memang bukan jodoh baikku," Ali tersenyum disudut mesjid. Kami teman-temannya pemuda dan pemudi kampung langsung merubunginya.

"Penolakan ini bukan akhir segalanya. Aku tetap akan mencari calon istri lain yang keluarganya ridho menerima aku dan keadaanku." Kata Ali keukeuh kembali, lebih tegas. "Ingat pelajaran mengaji kita, man jadda wajadda. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil."

"Kamu ngebet amat sih pengen nikah. Dah gak kuat ya?" seorang teman mencandai Ali. Diikuti tawa yang lainnya.

"Kebanyakan nonton blue film kali tuh, haha..." yang lain bernada lebih mengejek.

"Kita masih muda, Li. Kerja aja dulu. Kalau sudah mapan, aku yakin orang yang menolak lamaran mu itu akan berbalik memohon-mohon kamu untuk jadi menantunya." Teman yang lain ikut menimpali.

Ali hanya tersenyum. Tenang.

"Aku ingin menikah bukan semata-mata karena nafsu, tapi aku ingin memperbaiki keluargaku. Kalian tahu bagaimana tanpa dayanya ibuku, bagaimana repotnya Siti menggantikan posisi ibu untuk memasak, mencuci baju atau mengurus rumah hingga membantuku berdagang. Kasihan ibu dan Siti, karena itu aku bersungguh-sungguh. Aku sudah niat ingin menikah, untuk ibadah." Jawab Ali tetap tegas.

Tekad Ali tetap penuh semangat. Aku dan teman-teman langsung terdiam. Ali ada benarnya juga.

"Dan aku yakin Allah akan membimbingku," lanjutnya.

Aku saat itu hanya mengamini berharap Ali bisa segera mencapai cita dan impiannya untuk segera berumah tangga.Sejak itu lama tak ku ketahui kabar Ali karena keberadaanku di luar kota. Kampungku sangat jauh letaknya dari kota kabupaten ditambah jalannya masih hancur membuat aku enggan sering-sering pulang. Baru pada saat liburan panjang akhir puasa aku memaksakan pulang kampung.

Betapa terkejutnya saat aku hendak ke mesjid melihat Ali berjalan berjejeran dengan seorang yang berjilbab hendak menuju mesjid pula. Wajah di samping Ali itu tampak imut dan manis.

"Assalamualaikum. Wah, pangling nih melihat kamu sekarang, Li. Oya siapa ini?" saat itu aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Langsung ku cegat Ali di halaman mesjid.

"Waalaikumsalam. Hei, ada orang kota rupanya. Kapan datang? Oh... iya kenalkan ini istriku, Ti." Ali memegangi pundak yang berjilbab disampingnya itu.

"Namanya Siti, Siti Sopiah. Asalnya dari Cikiruh. Biar gak ketukar sama Siti adikku, panggil saja istriku Sopi." Ali berbinar-binar memperkenalkan istrinya.

"Teteh, salam kenal. Saya Siti Sopiah." Alamak, senyum Sopi teramat manis. Dengan santun Sopi menyalamiku penuh hormat.

"Aduh, biasa aja lah. Eh, iya, iya Sopi, salam kenal juga." Aku rada gugup juga menerima uluran tangannya. Senyum Sopi masih menebar di halaman mesjid senja itu.

"Kapan kalian menikah? Kok tidak ada kabarnya?"

"Biar Sopi aja nanti yang cerita ya, Ti. Aku mau wudhu dulu." Ali pamit dan masuk ke pintu khusus ikhwan.

Aku mengangguk dan berjalan bareng Sopi melewati pintu khusus akhwat.

"Setelah lulus SD saya tak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Kebanyakan teman sekelas saya juga tidak melanjutkan sekolahnya. Sehari-hari saya membantu abah di kebun atau menjual sayuran kesini (pasar kecamatan). Saat itulah tak sengaja ketemu Ali. Sering bertemu, ngobrol dan akhirnya Ali bilang mau menikahi saya." Sopi menceritakan masa awal perkenalan dengan suaminya sebelum tiba waktu sholat.

"Ali langsung datang ke kampung saya di gunung," aku tersenyum mendengar Sopi menyebut kampungnya yang bernama Cikiruh itu dengan kata gunung. Cikiruh memang sebuah kampung di kaki gunung yang jaraknya dari tempatku bisa menghabiskan waktu setengah hari menggunakan ojek. Belum ada jalan lebar jadi belum bisa menggunakan kendaraan roda empat menuju ke sana.

"Ali bilang langsung sama abah dan emak saya kalau ia mau menikahi saya. Alhamdulillah abah dan emak merestui. Kakak-kakak saya juga."

"Kok Ali menikah gak kasih kabar ya?" kataku keukeuh juga, sampai memotong kalimat Sopi.

"Nikahnya juga tidak rame-rame, Teh. Asal syah saja. Selain waktu itu tidak punya biaya, Ali bilang ga enak juga sama tetangga. Takut dikira manas-manasin atau apalah," aku manggut-manggut padahal sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud Sopi dengan kata-kata 'dikira manas-manasin'.

Suara iqomah yang terdengar otomatis menghentikan obrolanku dan Sopi.



o0o



"Ali menikah memang tidak rame-rame, Ti. Niat awalnya juga dia kan menikah bukan mau buat keramaian." Ibuku langsung menjawab ketika aku bertanya perihal pernikahan Ali setibanya di rumah.

"Padahal rame juga kan wajar. Menikah masa teman sendiri ga dikasih tau?"

"Kamu ini, kaya gak tahu saja. Ali itu maksudnya hanya menjaga omongan orang. Gimana jadinya kata orang kalau disaat orang lain berduka terus Ali berpesta?”

"Maksud Mama?"

Ibuku menatap tajam. Lalu menggeleng tersenyum.

"Kamu tidak tahu. Beberapa hari lagi Ali akan menikah, Neng Meti sakit parah. Untuk mengobatinya Pak Sarwi meminta Ali menikahi Neng Meti. Tentu saja Ali tidak bersedia karena Ali telah jatuh pilihan pada Sopi."

Aku tertegun.

"Penolakan Pak Sarwi terhadap lamaran Ali harus ditebus dengan kepahitan. Neng Meti sakit parah dan meninggal dunia tak berapa lama setelah itu."

Aku terpana. Mulutku terbuka tapi tak juga mengeluarkan kata-kata.

"Ali sekarang sudah bisa dibilang mapan. Kamu lihat gerobak mie ayamnya sudah berganti dan menempati dua kios sekaligus. Bulan lalu Ali juga berhasil membeli kios baru khusus untuk jualan sayur mertuanya. Sepertinya usaha mie ayamnya terus meningkat, mungkin berkah dari pernikahannya. Ali sekarang jadi bahan pujian warga kampung kita, Ti. Setelah beristri Ali semakin matang. Ibu dan rumah Ali pun kini lebih terawat. Sopi sangat mengasihi mertua dan adik iparnya seperti mengasihi orang tua dan adik kandungnya sendiri."

Ibuku menarik nafas.

”Ada hikmah yang bisa kita ambil dari semua itu. Mengambil mantu tidak harus melihat harta dan kekayaannya. Begitu juga semangat dan kerja keras Ali, memberikan gambaran kepada kita jika bersungguh-sungguh, akan berhasil." Ibuku mengakhiri kalimatnya, lalu beranjak memasuki kamar.

Sementara aku masih terpana. Tak sedikitpun mengira jalan hidup Ali akan begitu indah pada akhirnya.



o0o



 ( KATA SIAPA ) ORANG MISKIN DILARANG KAWIN ? 



Hari berganti, jaman semakin berubah. Ada teman sekolah Ali saat SMP yang melanjutkan ke SMA tapi harus putus, keluar sebelum kelulusan. Bukan karena anak itu bodoh. Bukan pula karena orangtua si anak tidak mampu membiayai, tapi karena si anak menghamili teman sekelasnya! Naudzubillah...

"Kamu tahu Pak Ali bos mie ayam?" seorang ibu muda di kampung sebelah terdengar berbicara kepada temannya saat aku lewat.

"Emang kenapa?"

"Dari pada anak-anak jaman sekarang sekolah tapi menghamili mending tuh seperti Pak Ali. Menikah muda walau awalnya banyak diejek orang tapi akhirnya sukses kan?"

Pembicaraan serupa segerti itu tak hanya ku dengar di kampung sebelah, tapi juga di kampung-kampung lainnya.

Malah aku diberitahukan adikku, bapak Kepala Sekolah bilang kepada murid-murdnya “Daripada menghamili mending silahkan menikah saja…”[]




   ==================================================================================





  Tepat habis isya, ku pergi ke apotik dan rencana ke dua beli makan malam. Biar kaki bengkak tetap nyolong pergi. Udah gitu Si dia... ya biasa pokoknya si dia banyak cincang cincung alasan segedhe gunung ngak jadi ikut. Semakin mangkel. Sampai di jalan eh ngak tahu motor belok ke pom bencin alias warnet. Ya udah turuti aja motor baru kridit kemarin hiks... buka rahasia...

Dah klik sana klik sini... eh ini yg di klik huruf-huruf yang di keyboard lho ya... ada SMS masuk berisi "Yuk.. bawain makan buatku po'o antar ke kos..."gedubrakkkkkk

Duh... ini orang minta di apain cihhh... ngak tahu kaki bengkak ngak mau nolongin eh malah tega nyaa... weleh minta menang sendiri, jelas ngak punya hati blas...

WEss lupakan hal itu ya... bahas spion lagi...

Saat pulang dengan pikiran ngak jelas dan kaki suuuuakit minta ampun ku glendeng motor tak ajak pulang ... maunya mampir ke warung nasi tempe penyet... jelalah kok ya tutup... eh ngak ding ke bablasen he he he... trus aja hingga motor belok ke warung jual sate madure....

Dah mampir deh... maunya pesan sate ayam aja eh ... alah.. kok ya habis dan tingggal sate kambing mampus lah sudah... ya udah pesan satu porsi saja buat si dia yang disayang tapi ngak tahu diri kalau disayang... ehem...

Saat pulang ngak tahu rencana siapa ada spion nyelonong nyenggol tanganku..... duhh... jantungku deg...deg...pyar... tahu ngak tuh yang nyenggol keren bangetttt... maksudku motornya yang keren...

Meski yang naiki ngak keren tetapi tetap tampak keren karena motornya hehehehehe asli penghinaaan... habis mau bilang yang naiki keren kok ya malu... tampak banget kalau narsis amirrrrr....

Nah... gitu yang disalahin kok ya aku, padahal jelas yang salah si keren tadi... dah gitu ngak mau minta maaf... asli kurang asem... dah gitu tahu ngak apa yang di lakukan si keren....

Ehem... ehem... malah  ngajak... aku... ya jelas dengan wajah takut dan deg..deg..kan... ku ngak maulah... masak gara-gara gitu aja urusan polisi dah gitu aku ngak ada sim lagi... hancur minahhhhhh...

setelah panjang lebar dia ngotot ... ngajak diriku... pokoknya pemaksaan banget....

Nah... lalu..."Bismillah...." aku beranikan diri nantang dia tuh si keren.... tapi bukan nantang berkelahi lho ya... yang jelas nantang ngajak kemana gitu...

Eh... eh... ternyata ngajak apa hayoo.... cuma ngajak kenalan... weleh...weleh...dasar ngak spionya ngak orangnya sama-sama genit he he he ...

Tahu ngak alasannya... ngajak kenalan gara-gara spionya nyenggol tanganku dan itu tandanya isyarat motornya ingin kenal, langsung aja aku manyun malu sendiri.....

Tanpa ini dan itu... ku hidupkan motor... lalu wuzzzz.... kutinggalkan si keren yang masih melongo di depan warung sate....

Udah gitu... ngantar sate ke kos si dia... kena semprot gara-gara lupa pakai jilbab.... yah maksudnya benaar sih... tapi berhubung hati lagi jengkel dan lagi ngerasain kaki suuuakit malah kuikut marah deh...